Diskusi Bareng

Selamat Belajar!!

Selasa, 16 Agustus 2016

EUTHANASIA PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontra.
Didalam al-Qur’an surat al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan, yang ia ciptakan untuk menguji iman, amalan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan. Karena itu, islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia.[1] Karena itu pula, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.[2]Allah SWT berfirman :

كل نفس ذائقة الموت ...... الآية (آل عمران:185)
artinya : “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati
 Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan macam-macam euthanasia?
2.      Bagaimana hukum islam tentang euthanasia?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”.[3] Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.[4]
B.     Macam-macam Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:[5]
1.      Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2.      Euthanasia Pasif
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.[6]
C.    Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1.      Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
.... و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق.... الآية.(الأنعام:151)
 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’am)
....و لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما.... الآية. (النساء: 29)
 “…Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu...” (QS An-Nisaa` : 29).[7]
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan islam (Khilafah), sesuai firman Allah SWT :
يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى.... الآية.(البقرة: 178)
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Dan bahkan, jika ada ahli waris yang trurut mendukung praktek tersebut dia tidak akan dapat memperoleh warisan.[8] Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT : 
..... فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان .... الآية.(البقرة: 178)
 “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i.[9] 
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda, “Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman : hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).[10]
2.      Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub, mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[11]
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits diatas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
الأصل في الأمر للطلب
Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata, “Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata, “Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya.” (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.[12] Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).[13]









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak boleh dilakukan didunia kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran. Disamping fakta bahwa euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa tindakan euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang. Karena belum tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya.
DAFTAR PUSTAKA

DR. Yusuf Qordhawi, Halal Haram dalam Islam, Surakarta, Era Intermedia 2003
Drs. H. Aliy As’ad, Tarjamah Fathul Mu’in, Kudus, Menara Kudus, 1979
Kutbuddin Aibak M.Hi,  Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta, Teras, 2009
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, PT. Gunung Agung, 1996
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2003
Yusuf Qardhawi. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press 1995



[1] Kutbuddin Aibak M.Hi,  Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta, Teras, 2009, hal. 149
[2] Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah,  Jakarta, PT. Gunung Agung, 1996, hal. 161
[3] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2003, hal. 177
[4] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam
, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 145
[5] Setiawan Budi Utomo, Op cit, hal. 178
[6] Setiawan Budi Utomo, Op cit, hal. 178
[7] DR. Yusuf Qordhawi, Halal Haram dalam Islam, Surakarta, Era Intermedia, 2003, hal. 459
[8] Kutubuddin Aibak M.H, Op cit, hal. 153
[9] Drs. H. Aliy As’ad,  Tarjamah Fathul Mu’in, Kudus, Menara Kudus, 1979, hal. 268
[10] Masjfuk Zuhdi, Op Cit, hal.163
[11] Setiawan Budi Utomo, Op cit, hal. 180
[12] D.R Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, hal.754
[13] http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/ diunduh pada tgl. 20 maret 2015 pukul 22.30 WIB

Minggu, 12 Juni 2016

Makalah praktik pembiayaan di bank syariah

TUGAS TERSTRUKTUR

PRAKTIK PEMBIAYAAN DI BANK SYARI’AH


Disusun Oleh:
AHMAD MUJTAHID & TUTIK NURYANAH
NIM : 212 006                     NIM: 212 005


Disusun Guna Memenuhi Tugas UTS
Mata kuliah: Perbankan Syari’ah
Dosen pengampu: Ahmad Supriadi, S.Ag, M.Hum









SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH & EKONOMI ISLAM/ AS
2015




BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah
Dalam lembaga perbankan baik itu perbankan konvensional ataupun syariah dalam operasionalnya meliputi 3 aspek pokok, yaitu penghimpunan dana (funding), pembiayaan (financing) dan jasa (service).
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.
Namun pada kenyataannya yang terjadi di masyarakat, justru sangat mengkhwatirkan dalam pengetahuan perbankan syari’ah, terutama dalam jenis pembiayaan di bank syari’ah.

  1. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari pembiayaan ?
2.      Apa saja jenis pembiayaan di bank syariah ?


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Pembiayaan
Pada dasarnya fungsi utama Bank Syariah tidak jauh beda dengan bank konvensional yaitu menghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya kembali atau lebih dikenal sebagai fungsi intermediasi. Dalam prakteknya bank syariah menyalurkan dana yang diperolehnya dalam bentuk pemberian pembiayaan, baik itu pembiayaan modal usaha maupun untuk komsumsi.
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.[1]
Kebijakan pembiayaan atau “Ion policity” suatu bank pada dasarnya merupakan pernyataan secara garis besar tentang arah dan tujuan pembiayaan oleh bank tersebut. Arah dan tujuan tersebut harus sejalan dengan misi dan fungsi suatu bank, sedangkan misi dan fungsi suatu bank adalah maksud dan tujuan “ideal” yang ditetapkan oleh pemiliknya.[2]
Sedangkan menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan : Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
  1. Jenis-jenis Pembiayaan
Menurut sifat penggunaannya, Pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut :
1.      Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2.      Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan umtuk memenuhi kebutuhan.[3]
Bank Syariah dapat menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan menggunakan skema berikut ini :[4]
1.      Al-ba’I bi tsaman ajil (salah satuk bentuk murabahah) atau jual beli dengan angsuran.
2.      Al-ijarah al-muntahia bit-tamlik atau sewa beli
3.      Al-musyarakah mutanaqishah atau decreasing participation, di mana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipasinya.
4.      Ar-Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut :
1.      Pembiayaan Modal Kerja
Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: a) peningkatan produksi, baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kalitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi. b) untuk keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid (cash), piutang dagang (receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku (raw material), persediaan barang dalam proses (work in process), dan persediaan barang jadi (finished goods). Oleh karena itu, pembaiayaan modal kerja merupakan salah satu kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan pembiayaan persediaan (inventory financing ).[5]
Bank Syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin partnership dengan nasabah, di man bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul maal), sedangkan naasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah (trust financing).[6]
a)      Pembiayaan Likuiditas (Cash Financing)
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidakseuaian (mismatched) antara cash inflowdan cash outflow pada nasabah.[7]
Bank syari’ah dapat menyediakan fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh timbal balik atau yang disebut compensating balance. Melalui fasilitas ini, nasabah harus membuka rekening giro dan bank tidak memberikan bonus atas giro tersebut. Bila nasabah mengalami situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang tersedia sehingga menjadi negative sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam akad. Atas fasilitas ini bank tidak dibenarkan meminta imbalan apa pun kecuali sebatas biaya admistrasi pengelolaan fasilitas tersebut.[8]
b)      Pembiayaan Likuiditas (Inventory Financing)
Bank Syariah mempunyai mekanime tersendiri umtuk memenuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual beli (al-bai’) dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari supplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, bank menjual kepada nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah.
2.      Pembiayaan Investasi
Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
Ciri-ciri pembiayaan investasi adalah :
a)      untuk pengadaan barang-barang modal
b)      mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah
c)      berjangka waktu menengah dan panjang
Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan investasi bank syariah menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini, bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaanya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih kembali, baik dengan menggunakan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada maupun dengan mengundang pemegang saham.
Skema lain yang digunakan oleh bank syari’ah adalah al-ijarah al-muntahia bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan. Sumber perusahaan untuk pembayaran sewa ini adalah amortisasi atas barang modal yang bersangkutan, surplus, dan sumber-sumber lain yang dapat diperoleh perusahaan.[9]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.
Sedangkan menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan : Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Tujuan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi sesuai dengan nilai-nilai islam. Pembiayaan tersebut harus dapat dinikmati oleh pengusaha yang bergerak dibidang industri, pertanian, dan perdagangan untuk menunjang kesempatan kerja dan menunjang produksi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
Menurut sifat penggunaannya, Pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut :
1.      Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2.      Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan umtuk memenuhi kebutuhan.




DAFTAR PUSTAKA

Jihad Abdullah Husain Abu Uwaimir, Attarsyid asy-Syari lil-Bunuk al-Qaimah, Kairo, al-Ittihad ad Dauli lil-Bunuk al-Islamiah, 1986
Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syari’ah, Bandung, CV Pustaka Setia, 2013
Muhammad Syafi’i Antonio,  Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani, 2001
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syaria’ah: Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Jakarta, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999
Sami Hasan Ahmad Hamaoud, Tathujir al-A’mal al-Mash-rafiyyah bima Yattafiqu wasy-Syariah al-Islamiah, Amman, Matbaath asy-Syarq wa Maktabuha, 1982
Zainul Arifin, Pasar Uang dan Valuta Asing Berbasis Syariah, paper dipresentasikan di Bank Indonesia, Jakarta, 21 Desember 1998




[1] Muhammad Syafi’i Antonio,  Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani, 2001, hal. 160
[2] Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syari’ah, Bandung, CV Pustaka Setia, 2013, hal. 211
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Op Cit, hal. 160-161
[4] Sami Hasan Ahmad Hamaoud, Tathujir al-A’mal al-Mash-rafiyyah bima Yattafiqu wasy-Syariah al-Islamiah, Amman, Matbaath asy-Syarq wa Maktabuha, 1982
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syaria’ah: Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Jakarta, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999
[6] Muhammad Syafi’i Antonio, Op Cit, hal.161-162
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Op Cit, hal. 162
[8] Zainul Arifin, Pasar Uang dan Valuta Asing Berbasis Syariah, paper dipresentasikan di Bank Indonesia, Jakarta, 21 Desember 1998
[9] Jihad Abdullah Husain Abu Uwaimir, Attarsyid asy-Syari lil-Bunuk al-Qaimah, Kairo, al-Ittihad ad Dauli lil-Bunuk al-Islamiah, 1986