BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Euthanasia merupakan
suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya
pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang
kontra.
Didalam
al-Qur’an surat al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan
Tuhan, yang ia ciptakan untuk menguji iman, amalan dan ketaatan manusia
terhadap Tuhan. Karena itu, islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan
kehidupan manusia.[1]
Karena itu pula, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap
orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.[2]Allah
SWT berfirman :
كل نفس ذائقة الموت ...... الآية (آل عمران:185)
artinya : “Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati”
Kematian
sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan.
Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya,
termasuk mempercepat waktu kematiannya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dan macam-macam
euthanasia?
2.
Bagaimana hukum islam tentang
euthanasia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Euthanasia
Euthanasia secara bahasa
berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian”.[3] Dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga
berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan
hebat menjelang kematiannya.[4]
B.
Macam-macam
Euthanasia
Dalam praktik
kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:[5]
1.
Euthanasia
aktif
Euthanasia
aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan
memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada
saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium
akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau
bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan
yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan
mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh euthanasia aktif,
misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa
sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan
takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2.
Euthanasia
Pasif
Adapun euthanasia pasif,
adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit
keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang
lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Contoh euthanasia pasif,
misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam
keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk
sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak
diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan
terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia
dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita
sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah
melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan
kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien
Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar
kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang
lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.[6]
C.
Pandangan
Syariah Islam
Syariah Islam
merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala
waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia
aktif maupun euthanasia pasif.
1.
Euthanasia
Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia
aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu
al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan
pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau
keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini
sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik
pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah
SWT :
.... و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق....
الآية.(الأنعام:151)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar.” (QS Al-An’am)
....و لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم
رحيما.... الآية. (النساء: 29)
“…Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu...” (QS An-Nisaa` :
29).[7]
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah
bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu
termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia
aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana
Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan islam (Khilafah), sesuai firman Allah SWT :
يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في
القتلى.... الآية.(البقرة: 178)
“Telah diwajibkan atas kamu
qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah :
178)
Dan bahkan, jika ada ahli waris
yang trurut mendukung praktek tersebut dia tidak akan dapat memperoleh warisan.[8]
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai
dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman
Allah SWT :
.....
فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان ....
الآية.(البقرة: 178)
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang
baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja
adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting
(khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah)
berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i.[9]
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia
aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien
sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek
lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien
dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah)
dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa.
Rasulullah SAW bersabda, “Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang
laki-laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau
lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti
darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman : hambaku telah
menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga
untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).[10]
2.
Euthanasia
Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif,
sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya
menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu,
bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi)
itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub, mubah, atau makruh? Dalam
masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau
berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada
yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah,
seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[11]
Dasar dari pada kewajiban berobat
oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits diatas menunjukkan
Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih,
perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li
ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai
kaidah ushul :
الأصل في الأمر للطلب
“Perintah itu pada asalnya
adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di
atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu
indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam
hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat
wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang
diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada
Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi)
dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!”
Nabi SAW berkata, “Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika
tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu
berkata, “Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar
auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya.” (HR
Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya
tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang
memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah),
bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Berdasarkan penjelasan di atas,
maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena
termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia
pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu
pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan
tidak haram bagi dokter.[12]
Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat
dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin
dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk
untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi,
maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemaparan makalah
diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak boleh dilakukan didunia
kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut melanggar
Kode Etik Kedokteran. Disamping fakta bahwa euthanasia itu dapat
membantu masayarakat dalam memiliki hak dan kewajiban untuk mengakhiri
kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak berpengharapan. Akan
tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa
tindakan euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan
mencabut hak hidup seseorang. Karena belum tentu orang-orang yang berada dalam
kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa
yang dikehendakinya.
DAFTAR PUSTAKA
DR. Yusuf Qordhawi, Halal Haram
dalam Islam, Surakarta, Era Intermedia 2003
Drs. H. Aliy As’ad, Tarjamah
Fathul Mu’in, Kudus, Menara Kudus, 1979
Kutbuddin Aibak M.Hi, Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta,
Teras, 2009
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah
Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 1995
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,
Jakarta, PT. Gunung Agung, 1996
Setiawan Budi Utomo, Fiqih
Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2003
Yusuf Qardhawi. Fatwa-Fatwa
Kontemporer, Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press 1995
[3] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban
Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2003, hal. 177
[4] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah
Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 145
Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 145
[12] D.R Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa
Kontemporer, Jilid 2, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, hal.754
[13] http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/
diunduh pada tgl. 20 maret 2015 pukul 22.30 WIB