Diskusi Bareng

Selamat Belajar!!

Selasa, 16 Agustus 2016

EUTHANASIA PRESPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Euthanasia merupakan suatu isu yang kompleks dan sangat kontroversial, sehingga melibatkan banyaknya pertanyaan yang membingungkan dan menimbulkan kubu yang pro dan kubu yang kontra.
Didalam al-Qur’an surat al-Mulk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah di tangan Tuhan, yang ia ciptakan untuk menguji iman, amalan dan ketaatan manusia terhadap Tuhan. Karena itu, islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia.[1] Karena itu pula, maka islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.[2]Allah SWT berfirman :

كل نفس ذائقة الموت ...... الآية (آل عمران:185)
artinya : “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati
 Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan macam-macam euthanasia?
2.      Bagaimana hukum islam tentang euthanasia?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”.[3] Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.[4]
B.     Macam-macam Euthanasia
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu:[5]
1.      Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2.      Euthanasia Pasif
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun.[6]
C.    Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1.      Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
.... و لا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق.... الآية.(الأنعام:151)
 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’am)
....و لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما.... الآية. (النساء: 29)
 “…Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu...” (QS An-Nisaa` : 29).[7]
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan islam (Khilafah), sesuai firman Allah SWT :
يا ايها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى.... الآية.(البقرة: 178)
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Dan bahkan, jika ada ahli waris yang trurut mendukung praktek tersebut dia tidak akan dapat memperoleh warisan.[8] Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT : 
..... فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان .... الآية.(البقرة: 178)
 “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting (khalifah), 30 ekor umur 3 tahun (hiqqah) dan 30 ekor berumur 4 tahun (jadzaah) berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i.[9] 
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda, “Telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang laki-laki yang mendapat luka, lalu keluh kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu. Kemudian tidak berhenti-henti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman : hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan. Aku mengharamkan surga untuknya.” (HR Bukhari dan Muslim).[10]
2.      Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub, mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[11]
Dasar dari pada kewajiban berobat oleh sebagian ulama adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits diatas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
الأصل في الأمر للطلب
Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata, “Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata, “Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi, “Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya.” (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter.[12] Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).[13]









BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemaparan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa Euthanasia tidak boleh dilakukan didunia kedokteran maupun didalam kehidupan masyarakat karena hal tersebut melanggar Kode Etik Kedokteran. Disamping fakta bahwa euthanasia itu dapat membantu masayarakat dalam memiliki hak dan kewajiban untuk mengakhiri kehidupan orang-orang yang mengalami koma yang tidak berpengharapan. Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat dan perlu diperhatikan juga adalah bahwa tindakan euthanasia itu sama dengan melakukan tindak pembunuhan dan mencabut hak hidup seseorang. Karena belum tentu orang-orang yang berada dalam kesakitan yang hebat dan menginginkan kematian sungguh-sungguh mengetahui apa yang dikehendakinya.
DAFTAR PUSTAKA

DR. Yusuf Qordhawi, Halal Haram dalam Islam, Surakarta, Era Intermedia 2003
Drs. H. Aliy As’ad, Tarjamah Fathul Mu’in, Kudus, Menara Kudus, 1979
Kutbuddin Aibak M.Hi,  Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta, Teras, 2009
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, PT. Gunung Agung, 1996
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2003
Yusuf Qardhawi. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press 1995



[1] Kutbuddin Aibak M.Hi,  Kajian Fiqh Kontemporer, Yogyakarta, Teras, 2009, hal. 149
[2] Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah,  Jakarta, PT. Gunung Agung, 1996, hal. 161
[3] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2003, hal. 177
[4] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam
, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 145
[5] Setiawan Budi Utomo, Op cit, hal. 178
[6] Setiawan Budi Utomo, Op cit, hal. 178
[7] DR. Yusuf Qordhawi, Halal Haram dalam Islam, Surakarta, Era Intermedia, 2003, hal. 459
[8] Kutubuddin Aibak M.H, Op cit, hal. 153
[9] Drs. H. Aliy As’ad,  Tarjamah Fathul Mu’in, Kudus, Menara Kudus, 1979, hal. 268
[10] Masjfuk Zuhdi, Op Cit, hal.163
[11] Setiawan Budi Utomo, Op cit, hal. 180
[12] D.R Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2, Jakarta, Gema Insani Press, 1995, hal.754
[13] http://blog.wiemasen.com/2009/02/25/hukum-euthanasia/ diunduh pada tgl. 20 maret 2015 pukul 22.30 WIB