Diskusi Bareng

Selamat Belajar!!

Kamis, 15 Januari 2015

makalah bahtsul kutub

المحرمات من النساء أو الإنكحة المحرمة

Perbaikan Makalah

Disusun guna memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata kuliah Bahtsul Kutub
Dosen pengampu Suhadi M.SI


Disusun Oleh :

Ahmad Mujtahid        (212 006)
Hilya Fatimah             (212 005)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH & EKONOMI ISLAM
PROGRAM STUDI AKHWAL ASSYAKHSHIYAH
TAHUN 2014
المحرمات من النساء أو الإنكحة المحرمة
وقد ذكرهن الله تعالى في كتابه بقوله عز وجل : (وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَمَقۡتٗا وَسَآءَ سَبِيلًا۞حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا۞وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا)[1]
والمحرمات من النساء نوعان : نوع يحرم حرمة مؤبدة ، و نوع يحرم حرمة مؤقتة. والتحريم المؤبد إما من جهة النسب ، أو من جهة المصاهرة، أو من جهة الرضاع.
والنساءالمحرمات عندالمالكية (48) إمرأة، خمس وعشرون مؤبدات : سبع من النسب : الأم، والبنت، والخالة، والأخت، والعمة، وبنت الأخ، وبنت الأخت، ومثلهن من الرضاع . وأربع بالصهر : أم الزوجة وبنتها، وزوجةالأب والابن، ومثلهن من الرضاع، ونساء النبي صلى الله عليه وسلم، والملاعنة، والمنكوحة فى العدة.
وغيرالمؤبدة : ثلاث وعشرون : المرتدة، وغيرالكتبية، والخامسة، والمتزوجة، والمعتدة، والمستبرأة، والحامل، والمبتوتة، والأمة المشتركة، والأمة الكافرة، والأمة المسلمة لواجد الطول، وأمة الابن وأمة نفسه، وسيدته، وأم سيده، والمحرمة بالحج، والمريضة، وأخت زوجته، وخالتها، وعمتها، فلا يجوز الجمع بينهما، والمنكوحة يوم الجمعة عند الزوال، والمخطوبة بعد الركون للغير، واليتيمة غير البالغ.
محرمات مؤبدا : فلا يجوز للرجل زواجها في كل وقت.
محرمات مؤقتا : لا يجوز للرجل زواجهن في حالة خاصة فإذا زالت هذه الحالة صار زواجهن حلالا.
و
حرف عطف
Dan
قد
حرف توكيد
Sesungguhnya
ذكر
فعل ماض
Menyebutkan
هن
اسم ضمير
Mereka (perempuan)
الله
اسم علم
Allah
في
حرف جير
Di dalam
كتاب
اسم نكرة
Kitab
ه
اسم ضمير
Nya
ب
حرف جير
Dengan
قول
اسم مصدر
Sabda
المحرمات
اسم مصدر
Yang diharamkan
من
حرف جير
Dari
النساء
اسم نكرة
Perempuan
نوعان
اسم تثنية
2 macam
نوع
اسم نكرة
Macam
يحرم
فعل مضرع
Haram
حرمة
اسم مصدر
Dengan haram
مؤبدة
اسم مصدر
Selamanya
مؤقتة
اسم مصدر
Sementara waktu
التحريم
اسم مصدر
Pengharaman
المؤبد
اسم مصدر
Sealamnya
جهة
اسم مفرد
Arab
النسب
اسم مصدر
Nasab (Keturunan)
المصاهرة
اسم مصدر
Semenda
او
حرف عطف
Atau
الرضاع
اسم مصدر
Sepersusuan
عند
اسم ظرف
Menurut
المالكية
اسم علم
Mazhab Maliki
امراة
اسم مفرد
Perempuan
خمس و عشرون
اسم عدد
Dua puluh lima
مؤبدات
اسم مصدر
Selamanya
سبع
اسم عدد
Tujuh
الام
اسم مفرد
Ibu
البنت
اسم مفرد
Anak perempuan
الخالة
اسم مفرد
Bibi (dari ayah)
الاخت
اسم مفرد
Saudara perempuan
العمة
اسم مفرد
Bibi (dari ibu)
مثل
اسم مفرد
Seperti
العدة
اسم مصدر
Masa iddah
ثلاث وعشرون
اسم عدد
Dua puluh tiga
المرتدة
اسم مصدر
Wanita yang murtad
المتزوجة
اسم مصدر
Wanita yang sudah menikah
المشتركة
اسم مصدر
Budak sepersekutuan
الكافرة
اسم مصدر
Budak kafir
سيدة
اسم مصدر
Majikan perempuan
سيد
اسم مصدر
Ibu majikan
الحامل
اسم فاعل
Wanita hamil
المحرمة
اسم مصدر
Wanita yang ihram sebab haji
المريضة
اسم مصدر
Perempuan sakit
زالت
فعل ماض
Hilang
خاصة
اسم مصدر
Husus
حالة
اسم مصمر
Keadaan
اليتيمة
اسم مصدر
Perempuan yatim
غير
اسم استثناء
Kecuali
البالغ
اسم فاعل
Baligh
الجمع
اسم مصدر
Mengumpulkan
الزوال
اسم مصدر
Tenggelamnya matahari
حلالا
اسم مصدر
Halal
المعتدة
اسم نكرة
wanita yang menjalani iddah


TERJEMAH
Allah SWT sesungguhnya telah menyebutkan mereka dalam sabdanya :
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَمَقۡتٗا وَسَآءَ سَبِيلًا۞حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا۞وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ أَن تَبۡتَغُواْ بِأَمۡوَٰلِكُم مُّحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَۚ فَمَا ٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهِۦ مِنۡهُنَّ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا تَرَٰضَيۡتُم بِهِۦ مِنۢ بَعۡدِ ٱلۡفَرِيضَةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا


Artinya :
22.  Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
23.  Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu[2]; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24.  Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[3] (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[4](yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[5]. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
            Perempuan yang diharamkan untuk dinikahi ada 2 macam : Haram selamanya untuk dinikahi dan haram sementara waktu.
            Perempuan yang diharamkan menurut mazhab maliki ada 48 perempuan, 25 haram selamanya yaitu 7 sebab nasab (keturunan) ialah : Ibu, anak perempuan, Bibi (dari ayah), Saudara perempuan, Bibi (dari ibu), Anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan, dan seperti mereka dari sepersusuan.
4 sebab semenda (perkawinan) yaitu : Ibu dari isteri (mertua) dan anak perempuannya, isteri ayah dan anak, dan seperti mereka dari sepersususan, isteri-isteri nabi SAW, perempuan yang dinikahi dalam masa iddah dan wanita yang disumpah li’an.
Selain yang diharamkan selamanya ada 23 yaitu : wanita yang murtad, selain kafir kitabi, wanita yang dijadikan isteri kelima, wanita yang bersuami, wanita yang hamil, wanita yang menjalani iddah, budak persekutuan, budak kafitr, majikan perempuan, ibu majikan, wanita yang sakit, saudara perempuan dari isterinya, bibinya (dari ayah), bibinya (dari ibu), wanita yang ihram sebab haji, wanita yang dinikahi pada hari jum’at ketika tergelincirnya matahari, wanita yang dilamar setelah teguh kepada yang lain, anak perempuan yatim yang belum baligh.
Perempuan yang diharamkan selamanya maka laki-laki tidak diperbolehkan untuk menikahinya selamanya. Perempuan yang diharamkan sementara waktu adalah seorang laki-laki tidak diperbolehkan menikah didalam keadaan tertentu, apabila keadaan tersebut hilang maka halal menikahinya.

KAJIAN FIQH
Wanita-wanita yang haram dinikahi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ibu (اْلأُمُّ) yakni wanita yang melahirkan kita, baik secara hakiki  yakni yang melahirkan secara langsung maupun majazi seperti  ibunya ibu, ibunya ayah, dua nenek ibu, dua nenek ayah, neneknya nenek, neneknya kakek, dan seterusnya ke atas tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan.
Putri (الْبِنْتُ) yakni wanita yang lahir karena benih kita, baik secara hakiki yakni putri kandung maupun majazi seperti  putrinya putra, putrinya putri dan seterusnya ke bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan.
Saudari (الأُخْتُ) baik saudari sekandung, seayah, maupun seibu. Saudari dari tiga arah seperti  ini semuanya termasuk Mahram yang haram dinikahi.
Bibi Patriarkal (العَمَّةُ) yakni saudari ayah, baik status kekerabatan dengan ayah adalah saudari sekandung, saudari seayah, maupun saudari seibu. Termasuk definisi ini adalah saudari-saudari kakek, tanpa membedakan apakah kakek dari pihak ibu ataukah dari pihak ayah, kakek dekat ataukah jauh, mewarisi ataukah tidak mewarisi. Semuanya dihukumi Mahram yang haram dinikahi.
Bibi Matriarkal (الْخَالَةُ) yakni saudari ibu, baik status kekerabatan dengan ibu adalah saudari sekandung, saudari seayah, maupun sudari seibu. Termasuk definisi ini adalah saudari-saudari nenek, tanpa membedakan apakah nenek dari pihak ibu ataukah dari pihak ayah, nenek dekat ataukah jauh, mewarisi ataukah tidak mewarisi. Semuanya dihukumi Mahram yang haram dinikahi karena setiap nenek adalah ibu, sehingga saudari nenek dihukumi bibi matriarkal yang haram dinikahi.
Putrinya saudara (بِنْتُ اْلأَخِ) yakni keponakan/kemenakan perempuan, tanpa membedakan apakah keponakan tersebut adalah putrinya saudara kandung, saudara seayah ataukah saudara seibu. Putrinya saudara di sini juga mencakup putri dalam makna hakiki yakni putri kandung maupun majazi seperti  putrinya putra, putrinya putri dan seterusnya ke bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan.
Putrinya saudari (بِنْتُ اْلأُخْتِ) yakni keponakan/kemenakan perempuan juga, tanpa membedakan apakah keponakan tersebut adalah putrinya saudari kandung, saudari seayah ataukah saudari seibu. Putrinya saudari di sini juga mencakup putri dalam makna hakiki yakni putri kandung maupun majazi seperti  putrinya putra, putrinya putri dan seterusnya ke bawah tanpa membedakan apakah termasuk ahli waris ataukah bukan.
Ibu Susu (الأُمُّ الْمُرْضِعُ) yakni wanita yang menyusui kita.  termasuk dalam definisi ini adalah ibunya ibu susu, neneknya ibu susu, demikian terus ke atas.
Saudari Susu (الأُخْتُ مِنَ الرَّضَاعَةِ) Ibu susu dihukumi seperti ibu kandung dalam hal kemahraman nikah. karena itu, wanita yang telah menyusui kita, berarti putri wanita tersebut adalah saudari kita yang haram dinikahi. Wanita yang disusui ibu kita, berarti wanita tersebut adalah saudari kita karena ibu kita adalah ibu susunya. Demikian pula jika kita menyusu pada seorang ibu susu asing dan ada wanita yang juga menyusu pada ibu susu asing tersebut, dalam kondisi ini wanita itu juga menjadi saudari kita yang haram dinikahi karena ibu susu kita dengan wanita tersebut adalah ibu susu yang sama. Bahkan pada kasus Laban Fahl/susu pria (لَبَنُ اْلفَحْلِ) hukum kemahroman tetap berlaku, meski beda yang menyusui. Maksud istilah Laban Fahl, ilustrasinya adalah sebagai berikut: Seorang lelaki menikahi empat wanita kemudian masing-masing digauli sehingga punya anak dan menyusui. Kemudian ada empat bayi perempuan asing yang masing-masing menyusu pada empat istri lelaki tersebut, yakni satu bayi mendapat satu ibu susu. Lalu ada satu bayi laki-laki yang menyusu pada salah satu istri lelaki tersebut. Dalam kondisi ini, seluruh bayi wanita yang menyusu tadi statusnya adalah saudari bagi bayi lelaki yang menyusu yang haram dinikahi. Hal itu dikarenakan, meskipun yang menjadi saudari susu langsung bagi bayi laki-laki tadi hanyalah satu bayi wanita (mengingat keduanya memiliki satu ibu susu yang sama), sementara tiga bayi wanita yang lain disusui ibu susu yang lain sehingga ibu susunya tidak sama dengan ibu susu bayi lelaki tersebut, namun tiga bayi wanita tersebut tetap dihukumi saudari karena seluruh wanita yang menyusui dalam kasus ini bisa menyusui hanya disebabkan oleh benih yang ditanamkan lelaki yang menjadi suaminya.  Jadi, meskipun air susu para wanita itu berbeda-beda, namun asalnya tetap satu, yakni benih suaminya. Karena suami yang “berperan” membuat air susu para wanita yang menjadi istrinya itu bisa keluar, maka “peran” ini dinamakan dengan istilah Laban Fahl (susu pria). Bukan susu dalam arti hakiki, tapi majazi. Yakni prialah yang membuat air susu wanita menjadi bisa keluar, sehingga seluruh susu yang terbit karena perannya ini semuanya dihukumi satu susu, walaupun keluar dari wanita yang berbeda-beda.
Ibu Mertua (أُمُّ الزَّوْجَةِ) yakni, ibu dari istri kita. Jika kita telah menikahi seorang wanita, maka ibu dari istri kita langsung menjadi Mahram kita baik ibu karena nasab maupun karena persusuan tanpa membedakan apakah ibu dekat ataukah ibu jauh. Hukum kemahroman langsung berlaku setelah akad nikah dilakukan, tanpa memperhetikan apakah istri sudah digauli ataukah tidak.
Putri Tiri (الرَّبِيْبَةُ) yakni putri-putri istri. Namun, syaratnya istri harus disetubuhi agar hukum kemahroman berlaku. Jika istri sesudah akad nikah belum digauli kemudian dicerai, maka putri tiri belum menjadi Mahram sehingga boleh dinikahi. Putri tiri ini tidak dibedakan apakah putri karena nasab ataukah putri karena persusuan, juga tidak membedakan apakah putri dekat ataukah putri jauh, juga tidak membedakan apakah putri yang mewarisi ataukah tidak.
Menantu Putri (حَلِيْلَةُ اْلابْنِ) yakni istrinya putra dan juga istri dari putranya putri, tanpa membedakan apakah dari nasab ataukah persusuan, dekat ataukah jauh. Hukum kemahroman ini berlaku hanya dengan dilakukannya akad nikah, tanpa memperhatikan apakah wanita sudah digauli ataukah belum.
Ibu tiri (زَوْجَةُ اْلأَبِ) yakni istri ayah, baik ayah dekat maupun ayah jauh, mewarisi ataukah tidak mewarisi, karena nasab ataukah karena persusuan.  Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah memerintahkan kepada seorang shahabat untuk membunuh lelaki yang menikahi istri ayahnya (ibu tirinya). An-Nasai meriwayatkan.
سنن النسائي (10/ 477) عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ لَقِيتُ خَالِي وَمَعَهُ الرَّايَةُ فَقُلْتُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيهِ مِنْ بَعْدِهِ أَنْ أَضْرِبَ عُنُقَهُ أَوْ أَقْتُلَهُ
Dari Al Barra`, ia berkata; saya berjumpa dengan pamanku, dan ia membawa bendera. Kemudian saya katakan; engkau hendak pergi kemana? Ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi isteri ayahnya setelah kematiannya, agar saya penggal lehernya atau saya membunuhnya. (H.R.An-Nasai)
Menghimpun dua saudari (الْجَمْعُ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ) yakni menikahi dua bersaudari untuk dipoligami, tanpa membedakan apakah saudari karena nasab ataukah karena persusuan, juga tidak membedakan apakah  saudari sekandung, seayah, atau seibu, juga tidak membedakan apakah menghimpun tersebut setelah menggauli istri yang sah ataukah belum.
Menghimpun wanita dengan bibinya (الْجَمْعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا أَوْخَالَتِهَا) yakni menikahi seorang wanita dengan dipoligami bersama bibinya. Larangan ini berlaku tanpa membedakan apakah bibi yang dimaksud adalah bibi patriarkal ataukah bibi matriarkal. Dasarnya adalah hadis berikut ini;
صحيح البخاري (16/ 63) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang wanita tidak boleh dimadu dengan bibinya baik dari jalur ibu atau ayah.” (H.R.Bukhari) Lafadz Abu Dawud berbunyi;
سنن أبى داود – م (2/ 183) عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ الْعَمَّةُ عَلَى بِنْتِ أَخِيهَا وَلاَ الْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ الْخَالَةُ عَلَى بِنْتِ أُخْتِهَا وَلاَ تُنْكَحُ الْكُبْرَى عَلَى الصُّغْرَى وَلاَ الصُّغْرَى عَلَى الْكُبْرَى ».
Dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “ Tidak boleh seorang wanita dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ayah), dan seorang bibi dinikahi sebagai madu anak wanita saudara laki-lakinya, dan tidak boleh seorang wanita dinikahi sebagai madu bibinya (saudari ibu) dan seorang bibi sebagai madu bagi anak wanita saudara wanitanya. Dan tidak boleh seorang kakak wanita dinikahi sebagai madu adik wanitanya, dan adik wanita dinikahi sebagai madu kakak wanitanya.” (H.R.Abu Dawud)
Wanita yang telah bersuami (الْمُحْصَنَةُ) yakni wanita yang telah menjalin akad nikah secara sah, meskipun dengan syariat di luar Islam seperti pernikahan  wanita Yahudi atau wanita Nasrani.
Semua wanita yang ada hubungan kekerabatan karena persusuan: misalnya ibu susu, putri karena persusuan, saudari karena persusuan, bibi karena persusuan, putri saudara karena persusuan, putri saudari kerana persusuan, dst. Dasarnya adalah hadis berikut ini;
صحيح مسلم (7/ 328) عَنْ عَمْرَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا وَإِنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرَاهُ فُلَانًا لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنْ الرَّضَاعَةِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ فُلَانٌ حَيًّا لِعَمِّهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ دَخَلَ عَلَيَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ
Dari ‘Amrah bahwasannya Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di sampingnya, sedangkan dia (‘Aisyah) mendengar suara seorang laki-laki sedang minta izin untuk bertemu Rasulullah di rumahnya Hafshah, ‘Aisyah berkata; Maka saya berkata; “Wahai Rasulullah, ada seorang laki-laki yang minta izin (bertemu denganmu) di rumahnya Hafshah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Saya kira fulan itu adalah pamannya Hafshah dari saudara sesusuan.” Aisyah bertanya; “Wahai Rasulullah, sekiranya fulan tersebut masih hidup -yaitu pamannya dari saudara sesusuan- apakah dia boleh masuk pula ke rumahku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, sebab hubungan karena susuan itu menyebabkan Mahram sebagaimana hubungan karena kelahiran.” (H.R.Muslim) Lafadz Bukhari berbunyi;
صحيح البخاري (9/ 124) عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بِنْتِ حَمْزَةَ لَا تَحِلُّ لِي يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ هِيَ بِنْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ
Dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhu berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang putri Hamzah: “Dia tidak halal bagiku karena apa yang diharamkan karena sepersusuan sama diharamkan karena keturunan sedangkan dia adalah putri dari saudaraku sepersusuan”. (H.R.Bukhari)
Makna hadis di atas; semua wanita yang diharamkan karena hubungan kekerabatan nasab seperti ibu, putri, saudari, dan sebagainya maka hukum yang sama berlaku pada wanita yang memiliki hubungan kekerabatan karena persusuan. Aisyah dihitung Mahram bagi saudara Abu Al-Qu’ais karena istri Abu Al-Qu’ais pernah menyusui Aisyah, sehingga hubungan kekerabatan antara Aisyah dengan saudara Abu Al-Qu’ais adalah Aisyah menjadi putri saudara Abu ‘Al-Qu’ais karena persusuan. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (19/ 130) عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ اسْتَأْذَنَ عَلَيَّ بَعْدَ مَا نَزَلَ الْحِجَابُ فَقُلْتُ وَاللَّهِ لَا آذَنُ لَهُ حَتَّى أَسْتَأْذِنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ لَيْسَ هُوَ أَرْضَعَنِي وَلَكِنْ أَرْضَعَتْنِي امْرَأَةُ أَبِي الْقُعَيْسِ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيْسَ هُوَ أَرْضَعَنِي وَلَكِنْ أَرْضَعَتْنِي امْرَأَتُهُ قَالَ ائْذَنِي لَهُ فَإِنَّهُ عَمُّكِ تَرِبَتْ يَمِينُكِ
Dari Aisyah sesungguhnya Aflah saudara Abu Al Qu’ais pernah meminta izin untuk menemuiku setelah turun (ayat) hijab, maka aku berkata; “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkannya (masuk) sebelum aku meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena saudara Abu Al Qu’ais bukanlah orang yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah isterinya Abu Al-Qu’ais.” Beberapa saat kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, lalu aku berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya laki-laki itu bukanlah orang yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah isterinya, beliau bersabda: “Izinkanlah ia (masuk) karena dia adalah pamanmu, semoga kamu beruntung!.” (H.R.Bukhari)
Selain hal yang diuraikan tadi, masih ada pernikahan yang terlarang, diantaranya yaitu nikah dengan tujuan untuk mentalaknya, nikah tahlil (seseorang menikahi seorang perempuan yang telah ditalak tiga oleh suaminya  dengan tujuan untuk menceraikannya kembali agar dapat dinikahi lagi oleh mantan suaminya), nikah dengan mantan istri yang sudah ditalak tiga, nikah shigar (seseorang yang telah menikahkan anaknya dengan seorang laki-laki, agar ia menikahkan anaknya dengannya tanpa mahar, nikahnya seseorang yang sedang melaksanakan ihram haji atau umrah, nikah dengan perempuan kafir, dan nikah dengan perempuan yang tidak beragama islam.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Wahbah Az-zuhaily, Al-fiqh Al-islmi wa Adillatuhu, Dar Al-fikr,Kairo, t.t
https://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/10/30/wanita-wanita-yang-haram-dinikahi/




[1] Surat an-Nisa’ ayat: 22-24
[2] maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut Jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya
[3] Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[4]  ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24.
[5] ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang Telah ditetapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar